Senin, 06 Oktober 2014

Saya Belum Siap Ber-Thariqat ?

Kebanyakan orang yang saya ajak untuk menempuh jalan spiritual mengungkapkan berbagai alasan senada sebagai isyarat penolakan.”Saya belum siap. Saya masih muda, saya masih kotor masih banyak dosa. Saya terlalu repot dengan urusan pekerjaan, urusan kantor,” begitu rata-rata alasan mereka. Rasa takut untuk tidak bisa mengamalkan wirid  juga menjadi  alasan.


Kepada yang masih muda saya sering mengatakan, sepertinya dia tau kalau jatah umurnya sampai tua sehingga merasa perlu menunggu sampai tua untuk  bertaubat kepada Alloh SWT. Padahal kita semua tau bahwa umur sudah ditetapkan dan kita semua tidak tau kapan kontrak hidup kita di dunia akan berakhir. Umur sewaktu-waktu bisa datang menjemput tanpa kompromi dan tanpa ada alasan apapun yang bisa menghalanginya.

Masihkah anda menunggu tua untuk bisa bertaubat, apakah anda yakin kalau umur anda sampai 60, 70 atau lebih dari itu ? Apakah perbuatan dosa di usia muda tidak akan dimintai tanggung jawab oleh Sang Pencipta kelak ?

“Bersegeralah kamu menuju pengampunan Tuhanmu”

Anda sudah harus mempertagungjawabkan semua perbuatan di hadapan-Nya sejak akil  baligh, rata-rata mulai umur 15 tahun  untuk laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan.

Kepada yang mengatakan khawatir tidak sanggup mengamalkan wirid, saya katakan kepadanya, mengapa tidak khawatir mengapa tidak takut ketika hendak mempersunting wanita, ketika hendak berumah tangga. Padahal kalau dihitung tanggung jawab terhadap istri , anak-anak dan keluarga jauh lebih berat baik lahir maupun batin, dunia dan akhiratnya ketimbang menjaga amalan wirid ini.

Mengapa tidak ada kekhawatiran saat hendak menikah ? Karena saat itu yang ia bayangkan adalah kehidupan manis dibalik pernikahan. Mau menikmati sorga dunia yang selama ini diimpikan. Mau hidup serumah bersama orang yang dicintai dan apapun akan dilakukan demi keinginan yang dicintainya itu. Bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya kalau perlu lembur siang malam demi mewujudkan tanggung jawabnya.

Adakah pengantin baru yang sempat berpikir kesulitan dibalik pernikahan, adakah yang ragu-ragu yang maju mundur karena takut tidak bisa menjaga istrinya?

Semua pengantin baru akan berpikir kebahagiaan, kenikmatan dan kemudahan dibalik akad nikahnya. Sehingga segala kesulitan dan tanggung jawab akan terlupakan, dan akan bisa dilakukan dengan ringan karena rasa cintanya yang besar.

Mengapa sedikit orang yang bisa berpikir semacam ini ketika hendak mengikatkan diri menjadi murid spiritual, yang tugas dan tanggung jawabnya tidak serumit dan sebesar ikatan pernikahan? Mengapa ketika hendak memasuki dunia spiritual yang tergambar di wajahnya semuanya hal yang menyulitkan, yang mengkhawatirkan yang manakutkan. Mengapa bukan “Ajran ‘adziima” (ganjaran yang agung) , sorga , dan kenikmatan  yang dia rasakan seperti ketika hendak menikah?

“Sesungguhnya nafsu selalu mengajak kepada keburukan”

Terhadap mereka yang  sibuk, banyak urusan kantor, sering di perjalanan dan merasa  tidak ada waktu untuk berdzikir bersama.Astaghfirullohal ‘adzim. Apa mereka pikir kesibukan dunianya itu lebih utama ketimbang aktifitas akhirati. Apa mereka pikir yang namanya hal penting hanya urusan kantornya, yang lainnya dianggap tidak penting, lalu agama mereka anggap tidak penting ?

“Ingatlah , waktu yang kita habiskan akan dimintai pertangungjawaban. Apakah habis untuk dunia ? Inikah yang dibangga-banggakan ? Astaghfirulloh.

Betapa banyak orang katakutan luar bisa mengikuti kegiatan spiritual akan menganggu urusan kerjanya. Mereka takut kalau-kalau nanti urusan kerjanya terganggu oleh urusan agama.   

Mengapa anda seperti orang yang sedang mabok ? Apakah memang betul anda sedang dimabok cinta ? Cinta terhadap sesuatu yang fana  sehingga lupa terhadap keabadian. Yang utama dianggap remeh dan yang remeh dianggap mulia, sehingga anda perjuangkan dengan penuh pengorbanan? Bukankah akhirat lebih layak anda perjuangkan mati-matian?

Tidakkah  berpikir sebaliknya. “Ah, nggak ah saya tidak mau akhiratku terganggu  hanya karena urusan bisnis. Nggak ah, saya tidak mau mengorbankan agama hanya karena perintah bos yang ngawur. Nggak ah, akhiratku lebih utama ketimbang urusan sepele seperti ini”.

Ini bukanlah soal dikotomi dunia akhirat. Akhirat adalah tempat panen dan dunia adalah sawah ladangnya. Dunia mestinya menjadi ladang subur akhirat pada setiap aktifitasnya.

Anda boleh saja membantah dan membela diri dengan “urusan kerja kan bisa jadi urusan akhirat”, . Jawabannya ya. Itulah seharusnya. Tapi apakah anda meniatkan pekerjaan anda untuk akhirat ? Karena itulah sarat awalnya. Benarkah untuk bekal ibadah ? Kalau iya mengapa anda meninggalkan ibadah saat anda bekerja ? . Berhati-hati di sini akan ada pihak ke tiga yang mencuri hati dan pikiran anda.

Tempatkanlah Dunia setelah Akhirat:

“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasannya Alloh tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir”, (An-Nahl:107)

“Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Alloh, dan mereka itulah orang-orang yang lalai (An-Nahl: 108).


“Ya Alloh , tempatkanlah kami dalam golongan orang-orang yang shalih yang taat kepada-Mu”. Selamatkanlah dunia dan akhirat kami. Amin. Wallohu A’lam. ###

Tidak ada komentar: