Rabu, 15 Oktober 2014

Belajar dari Alat Musik

foto: ilustrasi

Setiap kali selesai sholat kita sering berdoa, “Rabbana fighrlana wa liikhwanina alladzi sabaquwna bil iman wala taj’al fi qulubina ghilla lilladzyna amanu rabbana innaka roufurrokhim” (Ya Tuhan kami ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah lebih dulu beriman dan janganlah jadikan di hati kami penghalang dengan orang-orang beriman, Tuhan kami sesungguhnya Engkau adalah Maha Berbelas Kasih).

Jangan jauhkan hati kami penghalang dengan mereka yang beriman. Itulah doa yang amat penting dan perlu kita perhatikan secara seksama , terutama melihat perkembangan budaya hidup banyak orang pada zaman sekarang ini.

Ayat tersebut menegaskan kepada kita betapa pentingnya berdekatan dengan orang shalih. Dengan mereka yang hatinya tercerahkan oleh cahaya keimanan. Karena hanya dengan perantara merekalah kita bisa ikut merasakan manisnya iman. Bersama merekalah kita berharap mendapatkan sinar keimanan. Dan hanya dengan bergaul bersama orang-orang mu’minlah kita bisa menjadi orang yang beriman.

Perumpamaan berikut semoga bisa membantu anda memahami ayat tersebut. Ketika anda membeli alat musik baru, misalnya gitar pada awalnya nada-nadanya masih sumbang karna nadanya belum distel. Untuk menjadi sebuah gitar dengan notasi nada yang semestnya diperlukan diperlukan gitar atau alat musik lain yang sudah memiliki notasi sempurna. Hal itu perlu untuk penyelarasan nada gitar baru agar sesuai dengan gitar yang sudah sempurna.

Tanpa alat musik lain, atau gitar lain yang sudah memiliki aturan notasi benar, tidak bisa dan tidak mungkin gitar baru itu distel dengan nada-nada yang benar sesuai notasi nada baku.

Nah, begitulah pelajarannya, kita sebagai manusia yang bodoh memerlukan figure orang lain yang sudah baik untuk kita dapatkan menselaraskan diri kepadanya.

Saya kira anda akan sangat sepakat juga, bahwa itulah alasan mengapa anda berlomba mencari sekolahan yang bagus . Mengapa anda perlu kuliah di perguruan tinggi faforit, karena anda memerlukan para dosen yang berkualitas untuk mentransfer pengetahuannya kepada anda, sama seperti dibutuhkannya gitar yang sudah jadi tadi atas gitar baru.

Begitulah untuk urusan ke-Imanan. Anda juga perlu mencari orang shalih untuk anda dekati, untuk anda sowani setiap saat secara inten agar cahaya keimanannya memancar dari dadanya kepada anda. Sehingga pada saatnya keimanan anda pun akan selaras dengan nada sang guru.

Jangan anda mengannggap bahwa untuk mendapatkan hati yang kuat dalam Tauhid bisa diselesaikan dengan hanya membaca buku tanpa sosok guru yang membimbing anda.

Tumpukan buku yang anda baca hanyalah faktor pendukung, sebagai referensi tambahan untuk memperkaya dan meningkatkan daya kreatifitas atas pondasi pengetahuan dan iman yang kita dapatkan dari sang guru.

Tapi, Sungguh benar sinyalemen al-Quran , ternyata sangatlah sedikit orang-orang yang mampu menggunakan akalnya. Makanya AL-Quran sering mengkritik kita dengan pertanyaan, Afala ta’qilun, apakah kamu tidak menggunakan akalnya, afala tatafakkarun, apakah kamu tidak berpikir ?

Karena memang harus jujur diakui dan menjadi keprihatinan tersendiri, betapa orang banyak berbuat tidak adil untuk dirinya sendiri. Betapa urusan iman, urusan agama sering dipandang remeh. Sehingga dalam hal mempelajarinya seolah tidak perlu dipikirkan secara serius untuk mencari sosok guru dalam menggapainya.

Coba bandingkan dengan ketika kita memikirkan karir-karir duniawi, karir akademik hingga karir politik. Bukankah anda akan akan berlomba untuk menemukan top-top figure di bidang itu, demi kesuksesan visi dan misi kita ? .

Faktanya, berapa banyak orang-orang zaman sekarang yang mau mendekati ulama yang mau bersilaturrakhim dengan kyai untuk urusan kesuksesan dan karir keimanan ? Bukankah tidak terlalu banyak ? Bahkan bisa saya katakan sangat sedikit. Yang banyak jutsru mendekati Kyai untuk urusan duniawi, urusan utang termasuk urusan restu politik. Celakanya lagi, sang kyai tidak jarang juga ikut “mbuboni” menjadi “penasehat” dan menjadi “dukun” untuk kesuksesan tujuan sang pasien.

Yang datang ke hadapan kyai murni untuk memperbaiki ke-imannya, zaman sekarang mungkin lebih sedikit ketimbang tujuan dan hajat-hajat lain yang bersifat duniawi. Sudah lazim kyai-kyai banyak dimanfaatkan seperti pakar ekonomi, dimintai petuah dan mantranya untuk menyuskseskan bisnisnya. Kyai juga sering dijadikan pakar politik. Kyai bahkan kerap difungsikan menjadi suhu kesaktian.

Dan asiknya lagi , kadang-kadang sang kyai mau juga dimanfaatkan seperti itu. Sang pewaris mestinya tidak akan jauh-jauh dari yang memberikan warisan. Apakah yang Nabi wariskan kepada ulama ? Untuk apakah Nabi diutus ditengah manusia ?

“Tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia” (al-Hadits). Akhlak seperti apakah ? Akhlak yang serakah dengan kekuasaan ? yang selalu rakus dengan jabatan ? yang selelau ingin menjadi nomor satu ? yang ingin selalu berkuasa dan tidak mau kalah ?

Kearifan akhlak seseorang akan sangat tergantung dari kondisi keimanan yang bersarang di dadanya. Iman akan memancar dengan sempurna dari dada manusia kalau di dalamnya bersih dari segala macam kotoran dan penyakit. Kepada guru-guru yang tercerahkan itulah, kita harus mau duduk bersimpuh di hadapannya untuk menselaraskan nada-nada keimanan kita yang masih sumbang dengan keimanan mereka. Maka inilah salah satu cara menuju dan menemukan jalan-jalan keimanan. Wallohu 'A'alam.  ###

Tidak ada komentar: