Minggu, 12 Oktober 2014

Bekerjalah dan Bersyukurlah



Saya mempunyai kawan yang bersemangat sekali ketika membicarakan soal pekerjaan. Setiap kali bertemu selalu mengajak diskusi perihal pekerjaan yang menguntungkan. Dalam pandangannya dirinya selalu merasa kurang beruntung . Ia dan istri masih menumpang di rumah mertua. Oleh karenanya hal itu dirasa sebagai sebuah kondisi yang kurang menguntungkan.

Pekerjaannya sebagai tenaga guru honorer dirasa kurang untuk membiayai hidupnya. Dan untuk itu ia selalu berpikir mencari pekerjaan sampingan, mengumpulkan uang yang banyak agar kebutuhan-kebutuhannya dapat terpenuhi dengan baik.

Saya merasa ada ketidakseimbangan yang terjadi pada kawan saya itu. Sangat sedikit bahkan nyaris tidak pernah tergambar dari dialog-dialognya perasaan bersyukur atas karunia Tuhan yang telah diterimanya. Yang diceritakan selalu soal kekurangan, soal ketidakberuntungan. Seolah tidak ada memiliki sesuatu yang membahagiakan dalam hidupnya selama ini.

Pasti sebagai seorang santri karena bersama-sama kuliah di IAIN dan juga bareng sekamar di pondok pesantren tahu persis ayat, “Lainsakartum laziidannakum walainkafartum inna ‘adzabi lasyadid” (jika kamu bersukur maka akan Aku tambah nikmat-Ku dan dan jika kamu kufur maka azdab-Ku amatlah pedih).

Bukankah kesehatan tubuhnya merupakan nikmat dari Tuhan yang jika diukur dengan rupiah tentu tidak akan terbayarkan ? Karena jika orang terkena stroke, gagal ginjal misalnya, pastilah harus mengeluarkan uang ratusan juta rupiah ?

Menurutku Ia memiliki istri yang patut disyukuri,selain cantik Ia terlihat nerimo dengan keadaan, bukankah satu sisi ini adalah hal besar yang patut disyukuri? Karena banyak istri yang setiap hari ngomel-ngomel terhadap suaminya perihal penghasilan yang kurang?

Bukankah anaknya yang ceria juga nikmat yang sangat besar ? karena saya punya tetangga yang anaknya terkena penyakit parah yang mengharuskan setiap minggunya darahnya dicuci. Dan sekali cuci darah biayanya sekitar 600 ribu rupiah. Bukankah masih banyak teman yang belum sempat menikmati indahnya hidup bersama istri karena belum juga menikah.

Bukankah patut bersyukur pula karena banyak juga pasangan suami-istri yang belum dikarunia anak. Dan seterusnya, jika mau menghitung-hitung nikmat-Nya nisacaya tidak akan sanggup walaupun harus menghabiskan tinta sebanyak lautan dan pena sebanyak pohon yang tumbuh di bumi. Itulah kata Nabi kita tercinta. Dan menjadi bukti atas Firman-Nya, bahwa memang sangat sedikit orang yang mampu bersyukur.

Dan oleh karenanya kebanyak manusia mengingat-ingat kesedihannya. Kekurangannya yang dikedepankan, sementara hal-hal baik, nikmat-Nya sering sekali dilupakan.

Untung saja, Alloh SWT memiliki sifat Maha Penyabar (As-Sobur), sehingga tetap sabar menunggu waktu saat pengadilan akhirat datang. Dan dibiarkannya mereka yang melupakan nikmat-nikmat-Nya hidup memakan dan meminum air ciptaan-Nya.

Kalau saja anda seorang bapak atau ibu mempunyai anak, tentu sudah tak terhitung berapa jumlah uang yang telah dikeluarkan untuk merawat dan membesarkannya sejak dari dalam kandungan hingga lahir dan dewasa. Berapa pula besar pengorbanan tenaga dan pikiran untuk memenuhi segala permintaannya.

Misalkan saja, suatu ketika anak anda meminta barang yang tidak bisa terpenuhi karena suatu alasan. Kemudian anak anda ngomel-ngomel bahwa orang tuanya tidak lagi sayang kepadanya. Bapak ibunya dikatakan sebagai tidak mencintainya lagi. Ia kemudian menceritakan hal-hal buruk, hal-hal kesedihan semacam itu tidak saja kepada anda tapi juga kepada orang lain. Kira-kira seperti apakah perasaan anda. Sedih dan marah bukan ?

Coba, kalau Tuhan seperti watak kita , kalau kita diusir dari atas bumi mau kemanakah kita tinggal ? Adakah tempat lain untuk kita lari. Atau coba bayangkan kalau kemudian kita dilarang memakan makananya atau meminum airnya lantaran tidak pernah berterima kasih kepada yang menciptakan. Bisakah anda membuat air ? Bisakah anda menamam ubi dari tanah yang lain ?

Maka, sudahlah, masih lebih baik jika kita memperbanyak bersyukur diri atas nikmat-nikmat-Nya. Jika mau jujur, anak itu jauh lebih mahal dibandingkan mobil mewah bukan ? Maka buktikanlah apakah anak anda mau ditukar dengan mobil mewah ? Saya rasa orang tua yang waras tidak akan mau melakukan itu. Dan ini artinya anak merupakan suatu nikmat yang tidak terukur nilainya jika anda selalu memikirkan rizki berupa uang. ###

Tidak ada komentar: